Setiap bulan Ramadan, tren belanja makanan mengalami peningkatan drastis seiring dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga. Pasar tradisional, supermarket, dan platform belanja daring dipadati oleh masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan berbuka puasa dan sahur. Beragam hidangan khas Ramadan, takjil manis, serta makanan siap saji menjadi incaran, sering kali dibeli dalam jumlah berlebih karena dorongan nafsu saat berpuasa. Namun, di balik kemeriahan ini, jumlah sampah sisa makanan juga meningkat secara signifikan. Banyak makanan yang terbuang karena tidak habis dikonsumsi atau dibiarkan terlalu lama hingga kedaluwarsa. Di berbagai rumah tangga dan acara buka puasa bersama, makanan sering kali disajikan dalam porsi besar tanpa perencanaan yang baik, sehingga berakhir menjadi limbah. Sampah organik yang menumpuk tidak hanya menciptakan masalah lingkungan, tetapi juga mencerminkan pemborosan di tengah masih banyaknya orang yang membutuhkan makanan. Jika tidak dikelola dengan bijak, euforia konsumsi selama Ramadan justru berlawanan dengan esensi bulan suci itu sendiri, yang mengajarkan kesederhanaan dan kepedulian terhadap sesama.
![]() |
Ilustrasi Bazar Ramadan |
1. Efek Nafsu Makan dan Perilaku Impulsif
Saat berpuasa, tubuh mengalami defisit energi dan rasa lapar yang meningkat. Hal ini dapat memicu perilaku impulsive buying atau belanja berlebihan tanpa pertimbangan rasional. Secara psikologis, otak merespons kelaparan dengan meningkatkan keinginan untuk membeli dan mengonsumsi makanan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Akibatnya, banyak orang tergoda untuk membeli berbagai jenis makanan dan takjil, meskipun pada akhirnya tidak mampu menghabiskannya.
2. Bias Kognitif: Overestimation & Planning Fallacy
Banyak orang cenderung melebih-lebihkan kapasitas makan mereka setelah berpuasa seharian. Ini dikenal sebagai overestimation bias, di mana seseorang merasa bahwa mereka akan makan lebih banyak dari yang sebenarnya bisa mereka konsumsi. Selain itu, ada juga planning fallacy, yaitu kecenderungan untuk salah memperkirakan jumlah makanan yang dibutuhkan, sehingga membeli atau memasak terlalu banyak.
3. Pengaruh Sosial dan Budaya Konsumsi
Di bulan Ramadan, ada norma sosial yang mendorong konsumsi lebih banyak, baik dalam konteks keluarga maupun komunitas. Tradisi berbuka puasa bersama, hidangan khas Ramadan yang hanya muncul setahun sekali, serta ekspektasi untuk menyediakan makanan melimpah bagi tamu atau keluarga memperkuat dorongan konsumsi yang berlebihan. Selain itu, pengaruh iklan dan promosi besar-besaran dari industri makanan semakin memperkuat kebiasaan belanja impulsif selama Ramadan.
4. Efek Reward System: Makanan sebagai Hadiah
Secara psikologis, makanan bisa menjadi bentuk self-reward setelah menahan lapar dan haus seharian. Otak melepaskan dopamin (hormon kesenangan) saat seseorang mengonsumsi makanan enak, terutama makanan tinggi gula dan lemak. Hal ini dapat mendorong orang untuk membeli makanan dalam jumlah besar demi mendapatkan sensasi kenikmatan, meskipun sering kali berakhir dengan kelebihan makanan yang tidak habis dan terbuang.
5. Kurangnya Kesadaran dan Rasa Kepemilikan terhadap Makanan
Banyak orang tidak benar-benar menyadari dampak dari membuang makanan. Faktor seperti kurangnya edukasi tentang food waste, tidak adanya kebiasaan menyimpan dan mengolah makanan sisa, serta anggapan bahwa makanan murah atau berlimpah dapat dengan mudah digantikan, membuat orang cenderung lebih mudah membuang sisa makanan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Sampah- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar